Sabtu, 04 Februari 2012

Membngaun Benteng Ukhuwwah

Membngaun Benteng Ukhuwwah

"Tidak beriman salah seorang dari kalian sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (HR.Bukhari)

Betapa kuatnya korelasi antara ukhuwwah Islamiyah dengan 'iman'. Sampai-sampai Rasulullah saw mensyaratkan kecintaan kepada saudara sesama muslim sebagai salah satu unsur pembentuk iman. Iman sejati menghajatkan suatu rajutan persaudaraan di jalan Allah yang kokoh.

Karena itu eksistenti ukhuwwah berbanding lurus dengan kondisi iman seseorang atau sekelompok jamaah. Ia adalah barometer untuk mengukur pasang surutnya keimanan. Semakin solid suatu ikatan persaudaraan fillah, makin besar peluang untuk dikategorikan sebagai mukmin sejati (mu'minul al haq). Sebaliknya, ikatan bersaudara di jalan Allah ini bila rapuh, akan mengindikasikan suatu hakekat keimanan yang juga masih rendah tingkatannya. Begitulah yang diajarkan oleh Rasulullah saw untuk mengejar nilai keimanan di hadapan Allah dengan cara mencintai saudara sesama mukmin sebagai mana mencintai diri sendiri.

Tentang ukhuwwah Islamiyah, kita sudah terlalu sering mendengar, Dua kata ini nyaris telah menjadi klasik dalam rentang perjalanan sejarah kaum muslimin. Berpuluh buku telah ditulis tentangnya. Berhelai makalah telah diseminarkan. Perbincangan dan diskusi-diskusi keummatan tak pernah sepi mengurai soal ukhuwwah Islamiyah. Apalagi di tengah situasi di mana ummat mengidap penyakit kronis bernama iftiraq (keterpecahan) yang akut, dimana masing-masing kelompok merasa lebih Islami ketimbang saudara sesama kelompok yang lain, maka term ukhuwwah menjadi sering disebut. Dan dalam kenyataannya, kosa kata ini hampir tak bisa diceraipisahkan dari tubuh perjuangan dakwah ummat Islam. Ia adalah bagian fundamental dari keberadaan kaum muslimin sebagai sebuah ummat. Ia merupakan karakter khas dari kehidupan sosial kaum muslimin sepanjang sejarah.

Ukhuwwah Islamiyah adalah cara hidup komunitas muslim yang disemangati oleh persaudaraan akidah, dengan senantiasa menjadikan mahabbah (saling cinta), ikhtiram (saling menghormati), ta'awun (saling menolong) serta itsar (mengutamakan kepentingan saudaranya) sebagai pilar-pilar pokok.

Yang menjadi pertanyaan adalah di mana sebenarnya letak nukleus, inti pokok dari lingkaran amal ukhuwwah Islamiyah tersebut. Di manakah ruh dari semua aktivitas mencintai saudara sesama muslm sebagimana mencintai diri sendiri itu? Indikator apa yang mesti ada untuk menakar shahih tidaknya sebuah persaudaraan di jalan Allah?

Syahdan, ketika bergolak medan peperangana Yarmuk, ada kisah emas tentang bagaimana ruh ukhuwwah sejati ditampilkan shahabat. Diketengahkan oleh al-Qurthubi tentang pengalaman seorang shahat Rasulullah saw, "Aku bermaksud mencari keponakanku. Hendak kuberi minum ia pada saat-saat akhir menjelang ajalnya. Aku katakan padanya, 'minumlah air ini.' Dia menganggukan kepala. Sejurus kemudian terdengar rintihan memelas shahabat di sampingnya, penuh belas kasih. Keponakanku mengisyaratkan agar aku menemuinya. Ah, ternyata Husein bin 'Ash. 'Minumlah ini', kataku sambil menyodorkan air yang tadi kubawa. Husein menganggukan kepala. Namun berbarengan dengan itu terdengar seseorang disampingnya mengerang kehausan. Husein menyuruhku agar memberikan air kepada orang tersebut. Ketika kutemui shahabat tadi, ia sudah gugur. Lantas aku bergegas kepada Husein, iapun telah gugur. Kemudian aku menuju keponakanku, dan...ia pun telah pulang ke pangkuan Rab-nya." (Al-Ukhuwwah al-Islamiyah, takwin as-Syaksyiyah al-Insamiyah, Dr.Abdullah Nashih Ulwan).

Sementara itu, di episode lain dari sekian puluh kejadian-kejadian sirah (sejarah) Rasulullah dan pada shahabat; adalah Abdurrahman bin Auf yang muhajirin (berasal dari Makkah) dan Sa'ad bin Rabi' yang anshar (dari Madinah). Selayaknya kaum Muhajirin yang meningalkan kampung halaman tanpa banayak perbekalan, Ibnu Auf mulanya jelas terbilang miskin. Sebaliknya, Sa'ad bin Rabi' adalah aghniya, hartawan dengan kekayaan meimpah. Keduanya dipersaudarakan Rasulullah saw. Terjadilah dialog dengan muatana ruh ukhuwwah Islamiyah sejati antara keduanya. Berkata Sa'ad, "Akhi, aku adalah penduduk Madinah yang kaya. Pilih separo hartaku dan ambillah! Dan aku punya dua istri, pilih yang menarik hatimu, biar nanti kucerai salah satunya hingga engkau bisa memperistrikannya."

Dengan penuh kasih Abdurrahman bin Auf menjawab, "Semoga Allah merahmatimu, harta dan istri-istrimu. Sekarang, tolong tunjukkan di mana letak pasar, biar aku bisa berdagang."

Dua penggal kisah di atas menarik untuk dicermati. Bukan saja karena memiliki nilai yang luhur, tetapi lebih dari itu kisah-kisah semacam ini memiliki isyarat-isyarat tertentu yang bisa digali sebagai bahan pelajaran masa kini. Yang dimaksud adalah, dengan melihat tampilah ukhuwwah para shahabat, kita menjadi tahu latar belakang peristiwa-peristiwa persaudaraan Islami tersebut.

Latar belakang dari babak kehidupan para shahabat tersebutlah yang mestinya diurai hingga orang jadi mengerti psiko-sisial yang memicu lahiarnya ukhuwwah Islamiyah. Kita harus banyak-banyak memahami keadaan apa yang meruanglingkupi fenomena ukhuwwah generasi awal Islam sehingga mereka benar-benar mampu mencintai saudara sesama muslim seakan-akan mencintai diri sendiri.

Kalau dicermati, fenomena persaudaraan para shahabat itu senanataiasa dimulai dengan keikhlasan untuk memikul sekian keprihatinan perjuaangan. Pementasan ukhuwwah Islamiyah para shahabat berada di sebuah panggung kehidupan yang bernama "Jihad di Jalan Allah". Kejadian-kejadian dahsyat dalam sejarah tadi beruang lingkupkan atmosfir penegakkan kalimat Allah dalam pengertian yang sebenar-benarnya.

Pribadi-pribadi yang bertemu dalam forum ukhuwwah Islamiyah adalah pribadi-pribadi yang telah memiliki kesamaan pemahaman terhadap problematika ummat, sadar terhadap kewajibannya sebagai muslimin taat. Mereka mempunyai kepedulian tinggi, terlibat dan sense of bilonging (rasa memiliki) terhadap nasib ummat. Mereka terkondisi untuk selalu memikirkan bagaimana dakwah harus dijalankan. Terikat satu sama lain dalam tugas suci meninggikan kalimat Allah. Ini dilakoni oleh mereka dalam segala suasana: sedih, tragis, suka, untung atau mengharukan. Semuanya dikerjakan secara bersama senasib dan sepenanggungan.

Padahal semua mafhum betapa jalan dakwah yang dilalui para shahabat tadi penuh dengan situasi rumit. Onak duri selalu menghadang. Himpitan-himpitan "ipoleksosbuthankam" dari kaum musyrikin, teror fisik dan mental, tanggungan perasaan karena kurangnya harta, menumpuknya hutang dan situasi-situasi tragik lain; adalah kejadian sehari-hari yang mereka alami. Dalam kondisi seperti itulah ukhuwwah Islamiyan shahabat nabi digelar. Di forum semacam itulah ukhuwwah antara Abdurrahman bin Aur dan Sa'ad bin Rabi' terjadi.

Menyimak latar belakang itu, wajar jika para shahabat begitu spektakuler dalam menampilkan ruh ukhuwwah Islamiyah. Ini terjadi ternyata diawali oleh pra kondisi yang mengundang perasaan heroik. Suasana perjuangan yang mengharukan. Beban tanggung jawab yang sama terhadap kebenaran menjadikan mereka saling bahu membahu satu dengan yang lain.

Dengan ini maka solidaritas yang dibangun adalah yang mengarah pada visi keummatan. Bukan silidaritas kelompok yang justru bisa menghambat lahirnya ukhuwwah. Pada akhirnya, egoisme golongan dapat ditekan sekecil mungkin atau dimusnahkan. Ketika tidak lagi berpikir tentang kelompok, kemudian mengarahkan keterlibatannya pada hal-hal besar yang dihadapi ummat, menanggung keperihatinan-keperihatinan bersama atas kondisi dakwah; kita lebih mungkin berbicara soal ukhuwwah Islamiyah sejati. Tanpa adanya pra kondisi ini, tanpa mewujudkan lebih dahulu kesadaran terhadap perjuangan dakwah, rasa-rasanya ukhuwwah sejati akan sulit diwujudkan. Atau paling tidak akan sulit meraih ruhnya.

Firman Allah berikut ini bisa kita renungi:"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman(Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka dan mereka tidak menaruk keinginan dalam hati merekaterhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka(orang-orang muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung."(QS.Al-Hasyr: 9)

Begitulah ukhuwwah yang romantik, yang menggetarkan hari dan perasaan. Ia terjadi dari pancaran iman yang ikhlas dan pengembaraan jihad yang panjang. Wallahu a'lam.

Mulyono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar