Antara Mencicil HP dan Kambing Kurban
Arin tertegun merenungi, ternyata tahun 2007 akan segera berakhir.
Masih terngiang di ingatan Arin ketika dirinya berniat berkurban tahun
ini. Cita-cita yang tak lagi kesampaian seperti halnya tahun lalu. Arin
memandangi rekening tabungannya. Pemasukan dari penghasilannya lumayan
sudah, tapi pengeluarannya juga tidak sedikit. Entah kenapa, semenjak
pendapatannya mulai bertambah, kebutuhan hidupnya pun juga terus
meningkat.
Arin ingat, dulu ketika bekerja dengan disambi kuliah, Arin masih
sempat menyisihkan sebagian uangnya untuk berkurban. Padahal Arin tahu
benar, hampir setiap hari Arin harus jungkir balik dari pagi hingga
malam. Paginya, Arin mengerjakan pekerjaan freelance di daerah Depok.
Siangnya, musti berlari ke kampus yang jaraknya lumayan jauh di Jakarta
Pusat. Hampir setiap hari begitu. Jadi, tak jarang ketika uangnya habis
untuk ongkos-ongkos, Arin meminjam uang dari ibunya yang hanya
mengandalkan gaji pensiunan janda.
Aneh, pikir Arin saat ini. Dulu, ketika kuliah dan kerja, Arin
sanggup menyisihkan uang untuk kurban. Menabung tiap bulan dari 50.000
sampai 100.000 hingga pada bulan Dzulhijah, Arin bisa membeli kambing,
walau hanya mampu kelas B. Sekarang, begitu Arin tidak lagi berkuliah
dan hanya bekerja. Jangankan untuk berkurban, Arin bingung dengan begitu
banyaknya kebutuhan yang tiba-tiba.
Banyak sekali keinginan dan kebutuhan Arin yang tak terbendung.
Sebagian sudah terlaksana, sebagian lain belum. Kalau dipikir memang ada
beberapa kebutuhan yang benar-benar penting. Tapi, tak jarang juga, itu
hanya sekadar keinginan semata.
Hidup prihatin yang Arin jalani saat itu mengajarkan Arin untuk
mengatur uang sedemikian rupa dan menabung untuk bisa berkurban. Hidup
berlebih di kemudian hari, sepertinya menenggelamkan Arin pada
keinginan-keinginan yang belum tercapai sebelumnya.
Beberapa waktu lalu, Arin memiliki Hp dengan nilai jutaan rupiah,
mencicil dari sebuah pusat penjualan elektronik. Hp sebelumnya telah
rusak dan menurut Arin, itu adalah salah satu benda primer. Rencananya,
setelah selesai mencicil Hp, Arin akan mencicil motor. Menurut Arin ini
juga kebutuhan primer. Motor tersebut akan dipakai Arin untuk
transportasi ke kantornya.
Tapi, kemudian Arin bingung. Hp-nya kini telah di tangan. Iklan motor
bebek ada di meja belajarnya. Harga kambing yang ditawarkan kemarin
tidak mencapai 800.000. tidak lebih dari harga Hp Arin. Tapi, ketika
melihat tabungan, Arin tak lagi mendapatkan angka yang dia inginkan.
Arin jadi ingat, dia sempat mendapat nasihat dari pengajarnya dulu di
kampus. Dosen Arin itu membenarkan kalau berkurban tampak berat begitu
langsung mengeluarkannya dan memberi solusi dengan menabung terlebih
dahulu. Seperti halnya Hp yang Arin cicil. Yang menjadi pertanyaan
sekarang adalah kenapa mencicil Hp saja bisa, sedangkan berkurban seekor
kambing yang nilainya pahala, justru tidak bisa.
============ ========= ====
Mungkin banyak orang yang mengalami apa yang dialami Arin. Begitu
banyak keinginan dan kebutuhan di kala penghasilan sudah mulai
meningkat. Aturan matematika, ketika kebutuhan cukup menjadi tidak
berlaku. Entah karena pola konsumerisme yang mulai menggerogoti atau
itulah pola ekonomi secara umum. Padahal, kalau dihitung matematika,
dengan penghasilan Arin yang sekarang, dia bisa berkurban dengan
mudahnya. Tapi, yang terjadi malah tidak bisa sama sekali. Arin berkutat
pada kebutuhan pribadi. Seolah tak akan pernah usai dan tak ada
habisnya
Pernahkah kita berpikir bersama. Seringnya, nilai uang menjadi cukup
besar ketika kita ingin menyalurkan ke baitul Maal, tapi lain halnya
ketika dibawa ke Mall. Nilai Rp20.000 menjadi besar ketika kita ingin
memasukkan ke tabung di mesjid pada waktu sholat jumat. Tapi begitu
kecil ketika kita bawa ke mall. Tidak cukup untuk beli sepatu, kalau
makan pun hanya bisa beli paket murah meriah.
Banyak dari kita silau dengan kehidupan duniawi. Seolah-olah
segalanya yang terpajang di etalase adalah kebutuhan kita. Padahal,
sering itu hanya tipuan sesaat. Yah, pikiran saat itu, benda ini
”perlu”, tapi sebenarnya hanya ”ingin”.
Seyogyanya, ketika sanggup untuk mencicil kebutuhan duniawi, kenapa
malah justru sulit mencicil tabungan akhirat. Kalau segalanya dimulai
dengan menabung terlebih dahulu. kita bisa mendisiplinkan diri untuk
memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan .
Bahkan kita bisa saja memulai tabungan haji dari hari ini, bahkan
bisa dimulai dengan nilai 5.000 perak. Saya teringat dengan tetangga
saya yang mengais rezekinya dari berdagang di warung. Keinginannya
begitu besar untuk pergi haji. Kemudian, ibu warung, biasa dia
dipanggil, mulai bertanya pada tetangganya yang telah pergi haji.
”Nabung, Bu” Ibu warung pun mulai menabung dan siapa yang menduga.
Akhirnya, biaya naik haji tersebut tertutup dengan rezeki yang tak
diduga sebelumnya. Subhanallah, beliau sudah haji setelah beberapa tahun
kemudian, beliau dipanggil oleh Allah Swt.
Subhanallah, kalau memang sudah niat untuk beribadah di jalan Allah,
pasti ada jalan ke luar yang diberikan Allah. Seperti yang dialami bu
warung dan Arin di masa prihatinnya. Sekarang, tinggal bagaimana kita
mau memprioritaskan ke mana rezeki yang telah kita dapatkan dari Allah
Swt.
sumber :http://www.kisahteladan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar